Ini adalah cerita dewasa tentang aku dan Mama kandungku, namanya Karina. Di usianya yang kini menjelang empat puluh, kulitnya masih putih mulus, tanpa noda, dan lekuk tubuhnya masih seperti wanita usia dua puluhan yang memesona.
Sementara itu, Papa, seorang pengusaha elektronik sukses, hampir tak pernah ada di rumah kami. Kami sekeluarga tinggal di rumah besar ini, namun terasa sepi, hanya aku, Mama kandungku, dan seorang pembantu yang membersamai.
Sebagai anak tunggal, kesendirian itu memberiku terlalu banyak waktu untuk merenung dalam lamunan. Pada akhirnya, aku berfantasi tentang hubungan terlarang yang mulai menghantuiku.
Pubertas datang menyerbu saat aku di bangku SMP, kala duniaku mulai bergeser dengan cepat. Teman-teman mengenalkanku pada “stensilan” dan film-film dewasa yang tak senonoh.
Otak remajaku yang polos ini mulai tercemar oleh hal-hal itu. Di sanalah, benih kelainan untuk cerita dewasa ibu dan anak ini mulai tumbuh dalam diriku.
Aku sering membandingkan wanita-wanita di layar itu dengan satu-satunya wanita dewasa yang paling sering kutemui: Mama kandungku sendiri. Kamarku bersebelahan dengan kamar Mama dan Papa.
Di tengah malam, saat hasrat ingin buang air kecil tak tertahankan, suara desahan mereka sering menembus dinding kamarku. Awalnya menjijikkan bagiku, lalu jadi biasa, sampai akhirnya, di SMA, rasa penasaran itu tak tertahankan lagi.
Apa yang mereka lakukan di balik pintu tertutup itu? Ada kipas angin kecil di dinding kamar Mama, berfungsi sebagai ventilasi.
Entah lupa atau sengaja, Mama dan Papa sering membiarkannya terbuka saat menyalakan AC di dalam kamar. Ini adalah celah kecil yang mengundang setan di kepalaku, meracuni setiap pikiranku.
Suatu malam, desahan Mama yang terdahsyat yang pernah kudengar memenuhi seluruh udara di rumah. Aku tak bisa lagi menahan diri untuk tidak mengintip.
Aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Kursi belajar digeser perlahan olehku. Jantungku berdegup kencang, takut ketahuan oleh mereka.
Aku memanjat dan mengintip melalui celah sempit kipas angin. Samar-samar, kamar itu remang. Hanya lampu tidur di sisi ranjang yang menyala, menerangi sebagian kecil kamar.
Dan di sana, pemandangan itu terhampar jelas di depanku. Mama terbaring, selangkangannya terbuka lebar.
Punggung Papa bergerak maju-mundur, penuh peluh. Mama meremas selimut erat-erat, matanya terpejam, bibirnya bergumam lirih.
Seketika, seluruh tubuhku menegang tak berdaya. Mr. P-ku langsung bangun, keras dan nyeri, merasakan gejolak aneh ini.
Aku jijik pada diriku sendiri, namun tak bisa mengalihkan pandangan dari pemandangan itu. Aku ingin melihat wajah Mama saat sedang... seperti itu.
Aku ingin melihat ekspresi gairah yang tak pernah kulihat sebelumnya dari dirinya. Papa mendesah panjang, dan Mama mengerang nikmat.
Sesaat kemudian, gerakan Papa melambat. Mereka berpelukan, Papa menciumi leher Mama dengan lembut.
Aku cepat-cepat turun, kabur kembali ke kamarku sendiri. Malam itu, tidur tak kunjung menjemputku.
Wajah Mama yang cantik dan lembut, kini terbayang binal di benakku, seperti singa betina yang haus birahi. Sejak saat itu, ada yang berubah dalam diriku, sebuah perasaan baru yang aneh.
Aku mulai menyukai bayangan tubuh Mama sendiri yang menghantuiku. Aku tahu ini salah dan tak pantas.
Ini tabu, sebuah larangan keras yang tak boleh kulanggar. Tapi pubertasku seolah membakar semua akal sehatku yang tersisa.
Aku sering mengintip Mama mandi, atau sekadar berganti baju di kamarnya. Aku tak lagi tertarik mengintip Papa dan Mama, karena ada rasa tak suka dan cemburu yang menggerogoti.
Ini adalah rahasia kotor yang kusimpan rapat-rapat sendiri. Tak ada teman yang tahu tentang hal ini.
Aku masih suka film dewasa, masih terangsang melihat wanita-wanita di sana. Namun di samping itu, aku juga terangsang melihat Mama, wanita yang melahirkanku.
Perasaan aneh ini kupendam tiga tahun lebih lamanya. Hingga akhirnya, aku lulus SMA.
Aku memutuskan untuk kuliah di Perth, Australia. Jauh dari Jakarta, jauh dari bayangan itu yang selalu menghantuiku.
Aku berangkat sendirian, sempat tinggal di homestay beberapa waktu. Lalu, aku memutuskan pindah ke apartemenku sendiri, mencari kebebasan dan jarak dari masa lalu.
Beberapa minggu setelah pindah, Mama memberi kabar bahwa dia akan datang menjengukku, sekalian liburan. Awalnya Papa dan adik Mama akan ikut, namun kesibukan Papa dan sepupuku yang sakit cacar air membuat mereka batal ikut.
Jadi, Mama akan datang sendirian menemuiku. Aku menjemput Mama di bandara yang ramai.
Cuaca Perth terasa sejuk, mungkin terlalu dingin untuk Mama yang datang dari Jakarta yang panas membara. Aku membawa jaket cadangan miliku untuknya.
Pertengahan tahun itu adalah libur tiga minggu. Kunjungan Mama datang tepat waktu, seperti sebuah anugerah.
Pelukan hangat di airport terasa melegakan, membebaskan. Rasa rindu yang menyesakkan dada akhirnya terlepas, larut dalam pelukannya.
Di taksi, Mama tak henti bertanya tentang kehidupanku di sana. Sesampainya di apartemenku, Mama terkejut melihat keadaannya.
"Rio, kamu jorok sekali! Apartemenmu berantakan!" seru Mama sambil mencubit pipiku. Aku hanya tertawa menanggapi omelannya.
"Mama mau sarapan dulu?" tanyaku menawarkan. "Nggak usah, Mama sudah sarapan di pesawat. Mama mau tidur dulu sebentar."
Lalu, dia menawarku, "Rio kalau mau sarapan, Mama masakin deh." "Ah, nggak usah Ma, Rio beli di McDonald's aja. Lumayan kok breakfast-nya. Mama tidur aja dulu ya," jawabku menolak tawarannya dengan halus.
Mama mengangguk, dan aku pun berangkat keluar. Setengah jam kemudian, aku kembali ke apartemen.
Apartemen hening, tak ada suara. Koper Mama sudah terbuka, menandakan dia sudah ganti baju.
Kuintip kamarku, Mama tidur pulas di ranjang. Aku membiarkannya istirahat dengan tenang.
Aku sendiri menghabiskan waktu dengan Browse di laptopku. Tiga jam berlalu dengan cepat.
Mama keluar dari kamar, masih menguap lebar. "Rio, kamu lagi apa?" tanya Mama.
"Lagi internetan, Ma. Mama sudah lapar? Sudah jam dua siang, lho," tanyaku mengingatkan waktu. "Belum terlalu lapar sih."
Mama balik bertanya, "Rio mau makan apa?" "Rio mau ajak Mama makan di restoran Thailand dekat sini."
"Enak banget, Ma, Mama pasti suka," ajakku meyakinkan. "Oke, Mama ganti baju dulu ya," jawab Mama singkat menyetujui.
Aku mengangguk, bersiap-siap untuk pergi. Mama mengambil baju dari koper dan masuk kamar untuk berganti.
Lima menit kemudian, dia keluar. Kaus ketat dan celana jeans membalut tubuhnya dengan sempurna.
Dada montoknya menonjol, membuatku sedikit risih sekaligus senang melihatnya. Mama terlihat seperti wanita dua puluh lima tahunan, padahal usianya sudah tiga puluh lima tahun.
Hari itu kami berkeliling kota Perth yang indah. Mama sangat senang, tak henti berfoto ria.
Sering kali dia meminta orang lewat mengambil foto kami berdua. Dengan wajah Mama yang awet muda, kami sering dikira pacaran, sebuah kesalahpahaman yang menyenangkan.
Kami pulang larut, sekitar jam sebelas malam. Badanku terasa letih, Mama juga tampak lelah.
Senang sekali Mama datang berkunjung, selain bisa dimanja, aku juga bisa mengajaknya jalan-jalan menjelajahi kota.
"Mama mandi dulu aja," suruhku sambil menyerahkan handuk bersih miliku. Saat aku membereskan barang belanjaan, terdengar suara Mama sedikit berteriak dari kamar mandi, "Rio, ini bagaimana mengunci kamar mandi? Kok Mama tidak melihat ada kunci di sini?"
Mama berdiri dibalut handuk, pundak dan pahanya mulus terlihat. "Di sini memang sudah biasa tidak ada kunci di kamar mandi, Ma. Orang sini memang begitu," jawabku menjelaskan.
"Iya, tapi Mama tidak biasa dengan hal ini," protes Mama, lalu kembali masuk ke dalam kamar mandi. Tak sampai sepuluh menit, Mama sudah keluar lagi.
Malam itu ia mengenakan kaus ketat dan celana boxer sangat pendek, menampilkan paha putih mulus dan payudara yang menonjol dari balik kain. Mama duduk di sebelahku, mengintip laptopku.
Aroma sabun wangi dari tubuhnya tercium jelas olehku, aroma yang tak asing bagiku. "Rio, kenapa kamu belum beli sofa?" tanya Mama heran.
"Belum sempat, Ma," jawabku santai. "Besok mau beli sofa? Mama belikan deh."
Tawar Mama dengan murah hati. "Boleh aja…" jawabku menerima tawarannya. "Rio, sana mandi."
Mama lalu berkata, "Mama pinjam laptop dulu, mau email Papa dulu." Tanpa dikomando, aku bangkit menuju kamar mandi.
Di sana, pikiran kotor kembali muncul dalam benakku. Aku ingin mengintip Mama mandi besok, mumpung tak ada kunci di kamar mandi.
Setelah mandi dan mengeringkan rambut, Mama masih asyik chatting dengan Papa di laptop. Jam menunjukkan pukul satu pagi.
Aku pamit tidur lebih dulu. Mama masih sibuk chatting dengan Papa.
Karena belum ada sofa, aku tidur seranjang dengan Mama, yang kebetulan ranjang queen bed cukup luas. Mama tidak sungkan atau risih tidur bersamaku.
Mungkin karena aku anaknya sendiri, ia tidak menaruh curiga sama sekali. Malam itu aku tidur nyenyak, merasa nyaman di sampingnya.
Pukul delapan pagi, aku membuka mata perlahan. Matahari sudah terbit, menyinari kamarku. Sesuatu yang lembut dan empuk terasa di tangan kananku.
Kulihat Mama masih tidur pulas di sampingku, memeluk lengan kananku dengan erat. Payudaranya terasa hangat dan empuk di lenganku.
Kaus tipis tanpa bra itu membuat kenyalnya payudara Mama terasa jelas. Wajahnya tersembunyi di balik lenganku, pahanya menimpa paha atasku.
Kami masih terbungkus selimut tebal, berbagi kehangatan. Pagi itu dingin menusuk, mungkin Mama memelukku secara insting, mencari kehangatan tubuhku.
Perasaanku campur aduk, antara bingung dan bergairah. Mr. P-ku yang biasanya bangun saat aku bangun tidur, kini sangat keras, tegang maksimal.
Aku memilih diam, tak bergerak sedikit pun, takut Mama mengubah posisinya. Jam menunjukkan pukul sembilan kurang.
Hampir satu jam aku diam seperti patung, menahan diri. Posisi Mama tak berubah, malah pelukannya makin erat, pahanya kini mendarat di perutku.
Mr. P-ku tertimpa paha mulusnya. Namun bukannya loyo, malah makin tegang tak tertahankan.
Jantungku berdegup kencang, pikiran kotor meracuni akal sehatku sepenuhnya. Tangan kiriku mulai berpetualang di paha kanan Mama.
Perlahan, mengelus lututnya dengan lembut, lalu merambat ke pahanya yang mulus. Sungguh tak percaya, paha mulus tanpa cacat ini milik Mamaku sendiri.
Aku makin semangat mengelusnya, meresapi setiap sentuhan. Mama tak bereaksi, tetap terlelap dalam tidurnya.
Aku makin berani dan nekat dalam aksiku. Jarak elusanku makin melebar, dari lutut, merangkak sampai batas celana boxer Mama, kini mulai masuk ke dalamnya.
Dalam hitungan menit, tubuh Mama mulai bereaksi, kesadarannya perlahan bangkit dari tidur. "Hmm... Rio... kamu lagi apa? Geli, lho!"
Tanya Mama masih mengantuk, tapi tetap memeluk lenganku dengan erat. "Anu... Rio lagi elus-elus Mama," jawabku panik, mencari alasan.
"Ehm... kalau mau elus-elus Mama, punggung Mama saja atau rambut Mama," kata Mama lembut. "Jangan di paha, geli banget di sana."
"Jadi tidak enak?" tanyaku penasaran dengan maksudnya. "Bukan tidak enak sayang, tapi geli saja."
Mama melanjutkan, "Enak sih enak, tapi jadinya lain..." ucapannya terhenti, menggantung. "Lain apanya?" desakku ingin tahu lebih jauh.
"Pokoknya lain enaknya. Jangan di sana lagi deh," pinta Mama menghentikan aksiku. Aku menghentikan petualanganku, kembali jadi patung tak bergerak.
Aku tak tahu apakah Mama merasakan tonjolan Mr. P-ku di pahanya. Logikanya, pasti terasa, tapi dia tak bereaksi apa-apa.
Setelah itu, Mama tak bisa tidur lagi, mungkin karena aksiku tadi. Kami akhirnya mengobrol di ranjang dengan posisi yang sama, berpelukan.
Hampir satu jam mengobrol, akhirnya aku meminta Mama mandi duluan. Karena hari ini kami akan jalan-jalan lagi, menikmati hari.
Mama bangkit menuju kamar mandi. Lima menit kemudian, aku juga bangkit dari ranjang.
Sambil menunggu Mama selesai mandi, kupikir lebih baik menyiapkan sarapan: roti panggang selai stroberi. Setelah beberapa langkah dari pintu kamar, aku terkejut.
Pintu kamar mandi tak tertutup rapat oleh Mama. Sengaja atau tidak, aku tak tahu pasti niatnya.
Akal sehatku bertarung dengan akal kotor yang muncul. Akal sehat menyuruhku langsung ke dapur, mengabaikan godaan.
Namun akal kotor mengatakan, mengintip sebentar tak akan rugi, malah menguntungkan. Pemenangnya: akal kotor yang lebih kuat.
Aku berjalan berjinjit, agar tak terdengar oleh Mama di dalam. Kudesak perlahan pintu kamar mandi yang tak tertutup rapat itu, membuka celah kecil.
Posisi shower tepat di samping pintu. Kubikel shower berlapis kaca bening, bisa terlihat jelas siapa pun yang mandi di sana.
Kubuka pintu sekitar 1,5 centimeter, mata kananku perlahan mengintip lewat celah sempit itu. Sekilas saja, aku langsung menelan ludah, terkejut.
Jantungku kembali berdegup kencang, antara takut dan bergairah jadi satu. Takut ketahuan mengintip, dan bergairah melihat tubuh bugil Mama mandi.
Mr. P-ku kembali mengeras, tegang maksimal. Nafasku tak beraturan, memburu cepat.
Kulihat Mama membilas rambutnya dengan sampo, mata terpejam, lalu menyabuni tubuhnya dengan gerakan lembut. Oh, sungguh indah pemandangan itu, bagaikan karya seni.
Tubuhnya begitu sempurna di usia tiga puluh lima tahun, tanpa cela. Hampir sepuluh menit aku berdiri termangu di depan pintu, terhipnotis.
Jantungku terus berdegup kencang, tak henti. Mr. P-ku tegang maksimal, tak bisa dikendalikan.
Tiba-tiba Mama memutar keran shower, pertanda selesai mandi. Aku segera lari berjinjit ke dapur, berpura-pura sibuk.
Di dapur, aku lupa tujuan awalku yang sebenarnya. Aku hanya membuka lemari dan kulkas, mengambil apa saja yang kulihat, tanpa tujuan.
Tak lama, Mama keluar dari kamar mandi, santai menuju dapur. Tak ada raut kaget atau curiga di wajahnya, dia tampak tenang.
Sikap Mama biasa saja, tak menunjukkan perubahan. "Rio, kamu mau bikin apa?" tanyanya santai kepadaku.
"Oh ini... Rio mau bikin breakfast dulu. Mama siap-siap aja. Kita keluar setengah jam lagi," jawabku mengatur waktu. "Ya sudah, sini Mama saja yang bikinkan, kamu mandi dulu deh."
Perintah Mama dengan lembut, "Biar tidak buang-buang waktu." Selama di kamar mandi, bayangan tubuh bugil Mama tak bisa lepas dari pikiranku.
Aku pusing dengan pikiran kotor ini yang terus membayangi. Tapi dalam hati kecilku berharap, hari-hari berikutnya aku masih bisa mengintipnya lagi.
Dengan harapan Mama mungkin lupa menutup kamar mandinya lagi. Hari itu kami menghabiskan waktu jalan-jalan di kota pinggiran, menikmati suasana.
Sempat mampir ke toko furniture untuk beli sofa, namun sayang, sofa yang kami pilih harus menunggu dua minggu karena stok warna yang diinginkan habis.
Bagiku tak masalah, toh aku tinggal sendirian. Aku masih bisa bertahan hidup tanpa sofa untuk sementara waktu.
Karena Mama akan tinggal lebih dari dua minggu, kami sempat mampir ke agen perjalanan terdekat. Kami mencari info liburan ke Sydney, Gold Coast, Melbourne, dan Hobart (Tasmania), untuk destinasi liburan.
Namun kami belum memutuskan kota mana yang akan dituju. Aku ingin ke Sydney dan taman hiburan di Gold Coast.
Mama ingin Sydney atau Melbourne, masih bimbang. Karena belum ada keputusan, kami tidak booking paket liburan, menunda rencana.
Tak terasa seharian kami di luar, berkeliling kota. Sampai di rumah pukul delapan malam, terasa letih.
Malam itu kami beli makanan take away untuk makan malam. Terlalu letih makan di restoran, terlalu letih masak di apartemen.
Jadi take away pilihan tepat dan praktis. Mama beli sushi, aku bento favoritku.
Kami makan sambil mengobrol santai, berbagi cerita. Dengan Mama, selalu ada saja yang bisa diobrolkan, dia punya banyak cerita menarik.
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, menandakan waktu semakin larut. "Besok kita mau ke mana?" tanya Mama.
"Hmm... terserah Mama. Besok mau coba main golf? Di sini banyak orang Indo yang main golf," ajakku menawarkan kegiatan. "Tapi Mama tidak bisa main golf."
Puji Mama, "Papa tuh jago main golf." "Iya, kita ke sana saja."
"Kita main asal pukul saja... namanya Driving Range," jawabku lagi menjelaskan. "Oke," jawab Mama singkat menyetujui.
Aku segera membereskan piring kotor, mencuci bersih. Mama juga beranjak ke laptopku, melanjutkan aktivitasnya.
"Mama mau email Papa dulu ya. Semoga dia online. Jadi Mama tidak perlu telepon." ujar Mama, lalu menoleh padaku, "Rio mandi dulu habis cuci piring ya?!"
Selama aku mencuci piring, suasana hening, hanya suara air. Mama fokus mengetik email tentang kegiatan kami seharian.
Pikiran kotor itu kambuh lagi, menggangguku. Dalam hati kecilku berharap malam ini Mama lupa lagi menutup rapat pintu kamar mandinya.
Pikiran jorok dan harapan tak tahu malu ini masih meracuniku saat mandi. "Ma, Rio sudah selesai mandi."
Aku menyuruh Mama, "Mama mandi dulu deh." "Iya, nanti agak tanggung," jawab Mama singkat.
Aku duduk bersila di samping Mama, mengamati. Kulihat monitor laptop. Mama sedang mengetik panjang email tentang kegiatan kami seharian.
Dari makan pagi sampai makan malam, semua diceritakan. Tapi aksiku pagi hari yang mengelus paha Mama jelas tidak diceritakan dalam email itu.
Setelah email terkirim, Mama bangkit dari bean bag sofa, menuju kamar tidur untuk menata oleh-oleh dan mengambil pakaian tidur baru sebelum mandi. Aku diam-diam mengamati gerak-gerik Mama, setiap gerakannya tak luput dari pandanganku.
Aku pura-pura mondar-mandir di dapur mencari camilan dan minuman ringan. Sesekali masuk kamar tidur pura-pura mengambil buku, berlagak sibuk dengan urusanku sendiri.
Setengah jam kemudian, Mama keluar kamar tidur dan menuju kamar mandi. It is the moment of truth, saat yang kunantikan.
"Takkk..." Begitulah bunyi pintu kamar mandi, suara pintu yang tidak begitu keras. Aku mencoba untuk tidak bertindak dulu, menahan diri.
Setelah menunggu lima menit, aku bangkit dari bean bag sofa-ku dan berjalan berjinjit menuju kamar mandi untuk mengecek keadaan pintu kamar mandi. Sampai di depan kamar mandi, entah mengapa hatiku girang tak karuan, sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan.
Sekali lagi, pintu kamar mandi tidak Mama tutup dengan rapat. Aku mulai menaruh sedikit kecurigaan, apakah ini disengaja oleh Mama?
Pertama, pintu kamar mandi tidak rusak, bisa ditutup rapat seharusnya. Kedua, pagi tadi Mama semestinya sadar pintu terbuka 1,5 cm.
Jika pagi tadi kesalahan, tidak mungkin Mama melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya, itu mustahil. Jantungku kembali berdegup kencang, namun kali ini rasa takutku berkurang dibanding pagi hari.
Karena di otakku sudah ada asumsi bahwa ini adalah kesengajaan dari Mama, sebuah permainan. Sekali lagi aku menikmati pemandangan indah yang kurang lebih mirip seperti pagi hari itu, penuh gairah.
Ketika aku asyik menonton pemandangan indah penuh nafsu itu, tiba-tiba keran shower dimatikan. Ini sinyal untuk segera kembali ke tempat asalku tadi, agar tidak ketahuan.
Aku pura-pura memandangi layar monitor laptopku, tapi otakku masih belum sepenuhnya sadar dari lamunan. Aku pura-pura membuka berita-berita di internet, mencari informasi.
Tidak sampai lima menit sejak keran shower dimatikan, Mama muncul dari kamar mandi. Aku pura-pura sibuk, tetap menjaga ekspresi.
Aroma wangi yang tidak asing lagi semakin lama semakin mendekatiku. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara dari belakang.
"Papa online tidak?" tanya Mama. Alamak... Aku kaget sekali dan hampir tidak percaya dengan apa yang kulihat di sampingku.
Mama tiba-tiba bertekuk lutut di sampingku sambil melihat layar monitor laptopku dengan tubuh setengah basah hanya terbungkus handuk, sambil memegang baju kotornya. Aku sampai melongo dengan tingkah Mama malam itu, benar-benar tak terduga.
Selama ini belum pernah aku melihat kondisi Mama yang seperti ini di Indonesia. Bisa dikatakan kondisi Mama saat itu setengah telanjang di depanku.
Bahu dan dada atasnya yang putih mulus tampak jelas terlihat, memancing hasrat. Aku pura-pura cool, cuek dengan kelakuan Mama malam itu.
"Nggak, Papa tidak online," jawabku santai, berusaha tenang. "Ehm... apa belum pulang Papa dari kantor?"
Tanya Mama heran. "Coba saja Mama sms Papa," jawabku lagi menyarankan. "Iya deh gampang."
Mama berseru, "Mama mau coba packing oleh-oleh lagi deh." serunya sambil meninggalkan ruang tamu menuju kamar. Aku memutuskan, asumsi ku tidak salah.
Ini pasti ada unsur kesengajaan dari Mama, sebuah rencana tersembunyi. Aku semakin penasaran apa sebenarnya rencana dia.
Otakku berperang, batinku tidak tenang sama sekali. Positif dan negatif tidak seimbang, cenderung ke arah gelap.
Otakku semakin menjurus ke negative thinking. Satu jam kemudian, suasana rumah hening.
Aku tidak mendengar suara gaduh dari kamar tidur Mama. Yang kudengar hanya kipas angin laptopku yang berputar.
Jam sudah lewat pukul dua belas malam. Aku berjalan perlahan ke kamar, kulihat Mama sudah tidur di ranjang dengan lampu masih menyala, tak dimatikan.
Aku mematikan laptopku, lalu sikat gigi, bersiap tidur. Besok adalah hari yang panjang lagi, penuh aktivitas.
Banyak kegiatan dan aktivitas yang ingin kulakukan dengannya, menghabiskan waktu bersama. Kumatikan lampu kamar tidur, lalu naik ke ranjang dan cepat-cepat menutup selimut.
Aku susah tidur, gelisah. Sudah lima belas menit aku membolak-balikkan badan, mencari posisi enak dan nyaman.
Otakku yang sebelumnya berpikiran jorok, kini jadi nakal dan berani. Entah dorongan dari mana, tiba-tiba aku ingin sekali menjahili Mama malam itu.
Kucoba memepetkan tubuhku dengan tubuhnya di balik selimut yang hangat. Posisi tidur Mama telentang, nyaman.
Perlahan, tangan kananku mendarat ke paha kirinya yang mulus. Aku diam sejenak seperti patung, menahan napas.
Setelah mengatur nafasku, aku mencoba mengelus paha kirinya dengan lembut, merasakan kulitnya. Aku teringat kata-kata Mama bahwa pahanya dielus-elus memberikan kesan yang "berbeda enaknya."
Aku penasaran dan ingin tahu perasaan "berbeda" seperti apa yang dimaksud Mama pagi itu. Setelah lama mengelus paha kirinya, tak ada reaksi berarti darinya, dia tetap terlelap.
Kucoba naik sedikit mendekati pangkal pahanya, mencari sensasi baru. Untung malam itu Mama mengenakan celana boxer yang sama seperti kemarin malam, memudahkan aksiku.
Jadi mengelus area paha atas atau pangkal paha tak sulit bagiku. Hanya beberapa menit, aku merasakan reaksi dari tubuh Mama.
Kedua kakinya mulai bergerak-gerak sedikit, seperti menahan geli yang nikmat dan menyenangkan. Aku semakin berani dan mulai sedikit kurang ajar dalam tingkahku.
Seolah berasumsi ini lampu hijau darinya, aku makin nekat melanjutkan. Mr. P-ku kembali tegak, menegang sempurna.
Nafasku terputus-putus, memburu cepat. Telapak tanganku berusaha mencapai pangkal paha kirinya, lebih dalam lagi.
Setelah merasa sudah mentok, kujulurkan jari tengahku untuk menyelinap di balik celana dalam Mama. Ketika sampai pada mulut kemaluannya, aku merasakan jelas bulu pubis Mama sudah basah, basah oleh cairan.
Hanya dalam hitungan detik, tiba-tiba... "Plakkk!" Suara tamparan keras mengejutkanku. "RIO! Kamu kok kurang ajar sekali sama Mama?!" bentak Mama setelah menampar pipiku dengan keras.
"Kamu ini belajar dari mana sampai kurang ajar seperti ini?!" bentaknya lagi dengan nada marah. Aku tak tahu harus bagaimana, mati kutu.
Aku tak bisa melihat wajah Mama yang marah karena kamar gelap gulita. Aku takut bercampur malu, namun rasa takutku lebih besar daripada malu.
"Rio... jawab pertanyaan Mama. Kamu kok bisa kurang ajar sama Mama?!" desak Mamaku tak sabar. Aku mati kutu, tak tahu harus menjawab apa yang sebenarnya.
Memang tak ada yang mengajariku berbuat kurang ajar seperti itu, ini murni impuls. Ingin menceritakan bahwa aku sering melihatnya "bermesraan" dengan Papa, rasanya mustahil, tak mungkin.
Itu hanya akan membuatnya makin marah dan malu besar. Aku pasrah, tak berdaya. "Anu... anu... Rio tidak tahu, Ma," jawabku pasrah, menyerah.
"Kalau tidak tahu kenapa kamu kurang ajar sekali dan nekat begitu?!" tegas Mama, suaranya tajam. Aku menyesal sekali, asumsi ku ternyata salah total, meleset jauh.
Akhirnya aku memilih menyerah dan menceritakan apa yang kualami saat di Indonesia, dan kelainan aneh yang kualami dari awal sampai akhir. Mama mendengarkan seksama setiap perkataanku.
Aku bercerita tentang diriku yang aneh dan kejadian-kejadian ini dari A sampai Z, secara rinci. Cukup lama aku bercerita.
Kurasa sekitar dua jam aku menceritakan semua isi hatiku yang terpendam. Yang mengherankan, setelah menceritakan semua ini, beban perasaan yang kupendam bertahun-tahun langsung lenyap, seolah terangkat.
Meskipun yang mendengarkan adalah Mamaku sendiri, aku merasa lega. Setelah ceritaku berakhir, Mama hanya diam, tak ada kata.
Tak ada omelan, ocehan, atau bentakan lagi darinya. Tingkah Mama seolah mengerti, memaklumi, dan seolah menemukan jawaban yang dia nantikan selama ini.
Mama kembali merebahkan tubuhnya di ranjang sambil membelakangiku. Suasana kembali hening, sunyi.
Aku juga ikut berbaring, namun mataku belum terpejam, merawang ke langit-langit kamar yang gelap. Aku menghela napas panjang, melepaskan beban.
Kecewa, malu, lega, dan takut jadi satu, bercampur aduk. Kondisi Mama pun sama, dia juga tak bisa tidur nyenyak.
Meskipun membelakangiku, tubuhnya tak pernah diam, gelisah. Seperti tak nyaman begini, tak nyaman begitu, terus bergerak.
Aku tak tahu apa yang dipikirkan Mama, dan tak berani bertanya macam-macam lagi padanya. Aku memilih diam dulu, menunggu.
Tiba-tiba Mama membalikkan badannya menghadapku. Tanpa kuduga, tangan kanannya menyelinap di bawah celana tidurku dan langsung menggenggam Mr. P-ku yang masih loyo, dengan gampang dan cepatnya, sebuah kejutan tak terduga.
Perlu diketahui, aku tak pernah memakai celana dalam saat tidur, demi kenyamanan yang maksimal. Jadi tak sulit baginya menemukan posisiku dengan mudah.
Terus terang, aku kaget setengah mati dengan gelagat Mama malam itu. Aku tak pernah menyangka apa yang dia lakukan sekarang, sebuah tindakan berani.
Dengan cepatnya dia menggenggam Mr. P-ku, sebuah sentuhan yang mengejutkan. "Mama..." seruku kaget, setengah protes, tak percaya.
"Sssttt... Rio tenang saja. Anggap ini bonus," bisik Mama lembut, menenangkanku. Aku kembali diam, membiarkan apa rencana Mama malam itu, pasrah.
Mr. P-ku perlahan mengeras, karena Mama mengganti genggamannya dengan kocokan-kocokan lembut yang nikmat. Jantungku kembali berdegup kencang, makin cepat.
Kocokan lembut dari tangannya nikmat sekali, tak terlukiskan. Sangat berbeda dengan kocokan tanganku sendiri saat onani, jauh lebih dahsyat.
"Ahhh..." desahku tak terkontrol. Tanpa bisa kukontrol, desahan itu tiba-tiba keluar dari mulutku, sebuah ekspresi kenikmatan.
Tak lama kemudian, Mama menaruh sedikit air liur di telapak tangannya dan mengocok Mr. P-ku lagi, kali ini lebih basah. Alamak... kali ini kocokan lebih nikmat dari tadi, sensasinya meningkat.
Air liur Mama membuat licin kocokan tangannya, membuatku semakin keenakan tak tertahankan. "Ahhh... ahhh..." desahku makin menjadi-jadi, Mr. P-ku makin keras, makin tegang.
Mama tak berkomentar sama sekali, tetap santai mengocok Mr. P-ku dengan ritme yang sama. Aku lalu melepas total celana tidurku, memberi keleluasaan dan ruang lebih lebar untuk Mama memainkan irama kocokannya.
Kira-kira lebih dari sepuluh menit Mama sibuk mengocok Mr. P-ku, tapi aku belum menunjukkan tanda-tanda ingin berejakulasi. Napas Mama terdengar sedikit capek, sedikit terengah-engah.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku menampik tangan Mama dari Mr. P-ku dan aku bangkit menimpa tubuh Mama yang lembut. "Rio... mau apa kamu?" tanya Mama heran, kaget.
"Pengen cobain, Ma," jawabku singkat, penuh hasrat. "Riooo... ini Mama... mana bisa begitu. Ini tidak boleh."
Protes Mama, "Tabu 'kan?!" "Tapi Rio pengen banget, Ma," jawabku lagi sambil berusaha menarik lepas celana boxer Mama dengan cepat.
Yang membuatku makin berani, Mama tidak berusaha menahan ulahku itu, dia membiarkan saja. Setelah kutarik celana boxer-nya, tanpa pikir panjang lagi kutarik pula celana dalamnya secepat mungkin.
Kini Mama sudah telanjang bawah, dan aku pun juga sudah telanjang. Kemudian kulebarkan selangkangannya agar aku bisa memasukkan Mr. P-ku ke dalam memek Mama yang basah.
Tiba-tiba kedua tangan Mama menutup lubang memeknya, menghalangiku. "Pijitin Mama dulu dong?!" pinta Mama, sebuah permintaan tak terduga.
Mendengar itu aku sedikit kecewa, meskipun sebenarnya Mama telah memberikan lampu hijau kepadaku. Tanpa banyak bicara, Mama membalikkan badannya ke posisi telungkup, pertanda ingin dipijit dulu.
Akhirnya aku mengalah dan berusaha bersabar, menuruti kemauannya. Kupijit leher belakangnya, kemudian turun ke punggung atas dan punggung bawah berirama, dengan sentuhan lembut.
Aku duduk di atas pantat Mama dengan Mr. P-ku masih saja tegang, tak kunjung loyo. Sambil memijitnya, aku juga berupaya menggesek-gesek Mr. P-ku di celah-celah pantat Mama, memberikan sensasi nikmat bagiku.
Dan ternyata Mama sangat menyukai pijitanku, terbukti dari desahannya. "Hmmm..." dengung Mama pertanda dia sangat menikmati pijitanku ini, sebuah kenikmatan yang mendalam.
Tak lama kemudian dia bangkit dari posisi telungkup tadi, mengejutkanku. Aku mengira dia mau menyuruhku mengakhiri pijitannya, sebuah dugaan awal.
Tapi di luar dugaan, dia melepas baju tidurnya bersama bra-nya tanpa berucap satu kata pun. Aku dapat melihat tubuh bugilnya di balik remang-remang kamar, sebuah pemandangan indah.
Sungguh indah tubuh Mamaku ini, kataku dalam hati, memuji keindahannya. Mama akhirnya kembali lagi dengan posisi telungkupnya, berharap dipijit lagi olehku.
Seperti kerbau dicucuk hidungnya, aku kembali ke pekerjaanku semula, memijatnya lagi. Kupijit lagi leher belakangnya, kemudian turun ke punggung atas dan punggung bawah berirama, dengan sentuhan yang sama.
Aku juga masih terus menggesek-gesekkan Mr. P-ku di celah-celah pantat Mama. Kudengar lagi dengungan nikmat darinya, semakin memancingku.
Aku sekarang menjadi berani, melangkah lebih jauh. Kucoba mengarahkan ujung Mr. P-ku di celah dalam pantatnya, berharap aku bisa menemukan bibir memeknya yang tersembunyi.
Mama tidak protes dengan tingkahku itu, dan masih tetap diam, membiarkanku beraksi. Sambil tetap memijit punggungnya, aku mencoba mendorong pinggulku, berharap ujung Mr. P-ku mampu menembus masuk ke bibir memeknya.
Usahaku ini ternyata tidak terlalu sulit sama sekali. Karena ternyata bibir memek Mama telah menyambut kedatangan Mr. P-ku dengan kondisi yang telah basah dan lembap, siap menerima.
Aku berhasil menancapkan Mr. P-ku sedalam dua senti ke dalam liang memeknya. "Ahhh... Rio... kok dimasukkan?" tanya Mama pura-pura protes, namun tanpa perlawanan berarti.
Aku memilih pura-pura tidak mendengarnya, dan melanjutkan misiku yang mulia ini. Kali ini aku dorong batang Mr. P-ku dengan paksa, agar terbenam semuanya di dalam memek Mama, tak tersisa.
"Ohhh..." gumam Mama, sebuah desahan kenikmatan. Memek Mama terasa basah sekali, lembap, dan licin, melingkupiku dengan sempurna.
Kini aku menghentikan pijitanku, dan kedua telapak tanganku kugunakan sebagai tumpuan tubuhku agar tidak menindih tubuh Mama. Dengan posisinya yang masih telungkup, aku setubuhi Mamaku dengan perlahan.
"Ceplak... ceplak..." bunyi seperti tamparan datang dari pantat Mama karena aku menyetubuhinya dari belakang dengan posisinya yang masih telungkup. "Riooo... ahh... ahh... geli sayang..."
Desahan Mama makin lama makin menjadi-jadi, tak terkontrol. Kukocok terus liang memek Mama non-stop, tanpa henti.
Mama seperti cacing kepanasan, dia meremas semua yang ada di sekitarnya dengan tangan. Korban paling kasihan adalah bantal, karena dengan posisinya yang telungkup, Mama secara praktis nyaris tak mampu bergerak banyak.
Sepertinya dia pasrah menerima hantaman-hantaman nikmat dari Mr. P-ku di dalam liang memeknya yang hangat. Remasan tangannya terhadap bantal semakin menguat, dan tiba-tiba tubuh Mama mengejang, mencapai puncaknya.
Sesaat kemudian dia menutup mukanya dengan bantal sambil mengerang keras. "Errghhhhhh..." erang Mama di balik bantal dengan kerasnya, berusaha meredam suaranya.
Mama berusaha meredam erangannya di balik bantal, agar tak terdengar jelas. Aku menghentikan goyangan pinggulku karena tubuh Mama dalam kondisi menegang dari biasanya, memberikan waktu untuknya mengerang sepuas-puasnya.
"Huh... huh... huh..." napas Mama mulai tidak beraturan seperti baru saja berlari dua kilometer tanpa berhenti, terengah-engah.
Setelah napasnya mulai terlihat sedikit stabil, Mama membalikkan tubuhnya menjadi telentang, menghadapku. "Rio... kamu benar-benar anak Mama yang paling nakal."
Kata Mama, "Pertama berani kurang ajar sama Mama, sekarang berani-beraninya gituin Mama." Dia melanjutkan sambil melebarkan selangkangannya, membuka pintu agar Mr. P-ku bisa masuk kembali ke dalam dirinya.
Mendengar ucapan Mama ini, aku tersenyum di dalam keremangan kamar, sebuah senyum kemenangan. Kini kamarku penuh dengan hawa nafsu birahi milikku dan Mama, bercampur jadi satu.
Aku sempat berpikir betapa nikmatnya melakukan perbuatan tabu ini bersama Mamaku sendiri, sebuah pengalaman yang luar biasa. Aku melepaskan baju tidurku yang masih melekat di tubuhku dan kemudian tanpa basa-basi lagi, aku kembali menembak masuk batang Mr. P-ku ke dalam memek Mama lagi.
"Slep..." bunyi Mr. P memasuki liang memek yang sedang pada posisi basah 100%, siap menerimaku. Kembali aku menyetubuhi Mamaku lagi dengan posisi tubuhnya yang telentang dengan membuka selangkangannya selebar-lebarnya, memberiku akses penuh.
"Ahhh... ahhh... sayang..." desah Mama penuh nafsu, setiap katanya memanaskan suasana. Setiap kata desahan yang keluar dari mulutnya seperti memberikan aliran listrik yang mengalir di tubuhku, sebuah sensasi tak terlupakan.
Memberikan dentuman-dentuman nikmat di sekujur tubuhku, tak berhenti. Tiba-tiba tubuhku sedikit bergejolak dan Mr. P-ku seakan-akan mengembang sedikit, tanda klimaks mendekat.
Inilah pertanda bahwa permainan tabu ini akan segera berakhir, sebentar lagi. Aku semakin mempercepat goyanganku dan gesekan Mr. P-ku semakin kupercepat, tak terkendali.
Kelicinan liang memek Mama sangat membantu proses percepatan gesekan dari Mr. P-ku, dan memberikan sensasi yang makin lama makin nikmat, makin dahsyat. "Rio sayang... kamu mau datang ya?" tanya Mama, seolah membaca pikiranku.
"Iya... Mama kok bisa tahu?" tanyaku heran, terkejut dengan kepekaannya. "Rio... ini Mamamu... Mama tahu segalanya tentang anaknya..." jawab Mama sambil terus mendesah, sebuah pengakuan yang mengejutkan.
"Ehm..." responku singkat. Aku sudah akan mencapai klimaks, tak tertahankan lagi. Aku tahu ini tidak akan lama lagi, sebentar lagi puncaknya tiba.
"Rio boleh keluar di dalam?" tanyaku, meminta izin. "Di mana pun yang kamu mau sayang..." jawab Mama mesra, memberi kebebasan penuh.
Aku menjadi semakin gila rasanya, tak terkendali. Kecepatan gesekan Mr. P-ku semakin kutambah, makin cepat, makin kuat.
Suara desahan Mama pun semakin membabi buta dan tidak terkontrol lagi, memenuhi ruangan. Tubuhnya kini kembali menegang seperti sebelumnya, tegang maksimal.
"Rio... Mama mau dapat sayang... ahhh ahhh," kata Mama yang semakin kacau, tak mampu lagi menahan diri. Aku merasa telah mencapai delapan puluh persen mendekati klimaks, sangat dekat.
Dan aku merasa pula sepertinya sebentar lagi Mama akan meletup sebelum aku mencapai klimaksku. "Ahhh... ahhh... Rio... sudah mau keluar belummm?" tanya Mama seperti cacing kepanasan, tak sabar.
"Nanti... nanti lagi..." jawabku dengan nafasku yang mulai terputus-putus, tak teratur. Baru saja aku selesai bicara, tiba-tiba kedua tangan Mama mendarat di dadaku dan kedua ibu jarinya menggosok lembut puting susuku, sebuah kejutan tak terduga.
Ulah Mama ini memberikan kejutan mendadak terhadap tubuhku, bagaikan sengatan listrik. Rasa geli dan nikmat yang luar biasa sewaktu puting susuku digosok-gosok lembut oleh kedua ibu jarinya, membuatku menjadi kalap dan tidak terkontrol, tak bisa menahan diri.
Seakan-akan dia tahu kelemahanku yang mana aku tidak pernah menyadarinya sejak dulu, sebuah rahasia tersembunyi. Yang tadinya masih delapan puluh persen menuju ejakulasi tiba-tiba meluncur dahsyat menjadi seratus persen akibat ulah Mama ini, sebuah pemicu yang tak terduga.
Aku tidak lagi mampu menahan kedahsyatan senjata rahasianya yang baru saja Mama keluarkan, itu terlalu kuat. Aku hentikan gesekan Mr. P-ku dan menekan sepenuhnya batang Mr. P-ku ke dalam liang memeknya tanpa ada sisa satu milimeter pun, memasukinya sepenuhnya.
"Ahhh... Rio keluarrrr... ahhh ahhh..." jeritku tak terkontrol lagi sambil memuntahkan semua air maniku di dalam liang memek Mama tanpa ampun sambil memeluk tubuh Mamaku dengan erat. Mama pun juga ikut mengerang, dan lebih dahsyat dari yang pertama, puncaknya.
Kedua kakinya mengapit pantatku dan menekannya dengan sekuat tenaga seperti berharap agar semua batang Mr. P-ku tertanam dalam-dalam dan memuntahkan semua isinya di dalam liang memeknya, sebuah dorongan yang kuat. Setelah erangan kami mulai mereda, kami berdua masih bernapas dengan terengah-engah, merasakan kelelahan.
Seperti baru saja lari maraton jarak jauh, kelelahan yang sama. Dengan napas yang masih terputus-putus, aku bertanya kepadanya bahwa senjata rahasia yang dia gunakan sebelumnya mampu menaklukkanku dalam sekejap, sungguh luar biasa.
Dia mengatakan bahwa daerah itu adalah titik kelemahan Papa, dan dia sebenarnya tidak menyangka apabila daerah itu adalah titik kelemahanku juga, sebuah kejutan manis. "Seperti ayah seperti anak," begitulah candanya, sebuah lelucon yang pas.
Tubuh kami masih saling berpelukan, dan batang Mr. P-ku masih menancap di dalam memek Mama, tak ingin kulepas. Aku masih belum ingin menariknya, karena aku suka kehangatan liang memeknya yang kini penuh dengan air maniku sendiri, terasa nyaman.
Aku menghabiskan sisa waktu yang ada dengan banyak bertanya, ingin tahu lebih banyak. Aku pun bertanya apakah tidak apa-apa aku keluar atau ejakulasi di dalam memeknya, meminta kepastian.
Mama mengatakan tidak ada masalah, karena dia sudah memakai sistem kontrasepsi rutin, jadi aman. Aku juga meminta maaf kepadanya karena aku khilaf dan tidak mampu menahan kekuatan nafsu birahiku terhadapnya, sebuah penyesalan tulus.
Namun Mama mengatakan tidak pernah dipikirkan lagi, karena dia mengerti kalau aku sedang menuju masa puber, memaklumi keadaanku. Tapi dia sempat bercanda dengan mengatakan kepadaku bukan karena alasan puberitas yang harus disalahkan sehingga harus menyetubuhi Mamanya sendiri, sebuah sindiran lucu.
Aku sedikit malu mendengar pernyataan ini darinya. Mama memintaku berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan tabu ini lagi, sebuah janji yang sulit.
Namun dalam singkat cerita saja, selama Mama menghabiskan liburannya di sini, aku selalu saja memiliki akal yang mampu mendorong hatinya untuk aku setubuhi lagi, tak bisa berhenti. Aku kurang lebih sudah mengerti apa yang bisa membuatnya terangsang atau horny dengan cepat.
Aku sering menawarkan diri untuk memijitnya setiap malam dan bangun tidur, dan tawaran ini tidak pernah ditolak olehnya, selalu diterima. Strategi yang aku gunakan selalu sama saja, dan sering berhasil dengan ampuh, tak pernah gagal.
Pernah sekali di suatu malam, sewaktu Mama merasa letih dan tidak berminat melayaniku, di mana aku sangat bandel dan berkesan memaksa, akhirnya Mama pun menyerah dan pasrah melayani nafsu birahiku karena tidak tega melihatku memohon-mohon padanya untuk dipuasi, sebuah pengorbanan darinya. Di saat itu juga dia langsung menyerang daerah paling sensitif dan daerah kelemahanku, titik lemah yang tak pernah kusadari.
Hanya sekitar kurang dari dua menit aku sudah mencapai ejakulasiku, sangat cepat. Selama tiga minggu liburan Mama di sini mirip seperti sedang berbulan madu, penuh kebahagiaan.
Semuanya serba bersama dengannya, tak terpisahkan. Jalan-jalan bersama, liburan ke Sydney dan Melbourne bersama, mandi bersama, tidur bersama, dan bersama-sama melampiaskan nafsu birahi masing-masing, sebuah keintiman yang dalam.
Saat ini sudah tiga bulan berlalu semenjak Mama kembali ke Jakarta. Aku sudah tidak sabar menunggu libur kuliah, ingin bertemu lagi. Aku menjadi kecanduan dengan apa yang dinamakan hubungan suami-istri, sebuah adiksi baru.
Namun aku hanya ingin melakukannya dengan Mamaku sendiri, hanya dengannya. Mungkin di Jakarta nanti, tidak terlalu susah bagiku untuk meminta jatah lagi darinya, karena tidak ada yang akan menaruh rasa curiga terhadap kami, karena kami adalah ibu dan anak, sebuah penyamaran yang sempurna.